Sejarah Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar
Kelurahan Tanggung yang awalnya Desa Tanggung adalah Kelurahan yang terletak disebelah utara Kota Blitar kurang lebih 3 km dari pusat Pemerintahan Kota Blitar. Perbatasan sebelah utara dengan wilayah Kelurahan Ngadirejo, perbatasan sebelah timur dengan wilayah Kelurahan Sentul, perbatasan sebelah selatan dengan wilayah Kelurahan Bendo dan perbatasan sebelah barat dengan wilayah Desa Jeding Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
Dengan jumlah penduduk kurang lebih 6217 jiwa, terdiri dari perempuan 3118 jiwa, laki-laki 3099 jiwa yang mayoritas penduduk Tanggung bermata pencaharian sebagai pengrajin kayu: 60%, perdagangan 20%, petani 10%, dan sisanya 10% pegawai, guru serta pekerjaan lainya.
Apabila dari letak Geografisnya Kelurahan Tanggung terlihat cukup strategis dimana dekat dengan kota namun tidak bising dan tidak terlalu ramai. Masyarakatnya nasionalis religius yang sangat kental terhadap ajaran Agamanya. Dari sejumlah penduduk diatas, 95% beragama Islam yang fanatic agamis.
Dilihat dari perjalanan Pemerintahan, Kelurahan Tanggung sebelum tahun 1985 adalah Desa Tanggung Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Adalah Desa paling ujung barat daya dari bagian wilayah Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar.
Namun setelah tahun 1985 Tanggung menjadi bagian pembentukan / pemekaran wilayah yang asalnya Kecamatan Kota Blitar menjadi Kota Madya Blitar. Dan Desa Tanggung menjadi Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar. Luas wilayah Tanggung kurang lebih 2.137,353 ha.
Letak wilayah Tanggung yang dekat dengan makam Proklamator Bapak IR SOEKARNO, masyarakat Tanggung terinpirasi oleh banyaknya wisata yang berkunjung ke makam, sehingga masyarakat Tanggung banyak yang membuat aneka kerajinan seperti Kendang, Asbak kayu, gantungan kunci dari kayu dan sejumlah kerajinan pernak-pernik lain yang terbuat dari kayu.
Selain itu Kelurahan Tanggug yang mempunyai tiga lingkungan ( dulu tiga dusun ) yaitu ;
1. Lingkungan Tanggung yang merupakan krajan dari Kelurahan ,Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai pengrajin kayu, pedagang, petani dan pekerjaan lain.
2. Lingkungan Badut yang hampir sama yaitu Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai pengrajin kayu, pedagang, petani dan pekerjaan lain.
3. Lingkungan Santren penduduknya yang mayoritas bermatapencaharian sebagai pengrajin kayu bila dilihat dari status ekonominya lebih mapan dibanding dengan 2 lingkungan yang lainya.
Menurut sejarah, Kelurahan Tanggung adalah Desa yang dibabad (dicikal bakali) dan didirikan oleh seorang tokoh yang namanya tidak asing bagi warga Tanggung yaitu KIYAI DIPOSARI yang makamnya terletak di sebelah timur kelurahan adalah kyai yang konon seorang punggowo kerajaan Mataram Jawa Tengah.
Dan sangat disayangkan bagi warga Tanggung yang dulu saat nama Diposari di abadikan sebagai nama salah satu jalan di Tanggung sekarang diganti menjadi jalan Citandui.
Sebagian cerita asal-usul nama Tanggung adalah dari kata “Ditanggung” . Dulu warga Bangsri, warga Dayu, warga Ngoran, warga Dawung dan warga-warga lain di wilayah utara yang berjualan ke Kota.
Dulu karena belum ada alat trasportasi seperti sekarang. Mereka hanya berjalan kaki sehingga berangkat malam, sesampai makam mbah Diposari mereka istirahat . Dan menurut cerita pedagang yang beristirahat di sekitaran makam mbah Diposari jualannya Gangsar (laku laris), sedang mereka yang tidak beristirahat di sekitaran makan mbah Diposari jualanya seret (kurang laris).
Berita itu tersebar ke sesama pedagang yang dari arah utara sehingga walaupun tidak lelah sekalipun mereka menyempatkan istirahat di makam Mbah Diposari sebelum meneruskan perjalanan ke kota, karena berkeyakinan rezekinya “Ditanggung” lancar oleh mbah Diposari.
MITOS TANGGUNG
Kyai Diposari adalah sosok panutan yang sangat santun, sederhana, wibawa, arif dan bijaksana. Disamping itu beliaunya adalah ahli puasa (tirakat). Salah satu kebijakannya yaitu mengharuskan warga Tanggung khususnya berpola hidup sederhana dan meninggalkan megah-megahan.
Yaitu dilarang membuat rumah gedong ( tembok) di Tanggung. Dulu apabila mereka memaksa membuat rumah gedong maka penghuninya tidak betah dirumah ( tidak krasan), bahkan penghuninya sakit-sakitan dan berujung kematian. Sehingga pada waktu itu rumah di Tanggung tidak ada rumah gedong, semua rumahnya dari anyaman bambu atau gedek (jawa)
Dengan adanya perkembangan zaman, warga Tanggung ada yang berani membuat rumah tembok tapi bawah atasnya bambu (gedek), itupun boleh khusus pemangku Desa (perangkat desa).
Lambat laun warga membuat rumah dipondasi seperti akan membuat rumah tembok tetapi memakai tiang-tiang (soko) dari kayu dengan dinding anyaman bambu. Seiring waktu, beberapa tahun dindingnya rusak disusuli tembok hanya disisakan 1m2 atau lebih dibagian belakang rumah yang dindingnya dari ayaman bambu.
Sehingga apabila di Tanggung masih ada rumah yang dibangun era tahun 1970-an kebawah pasti ditemukan dinding rumah bagian belakang ada bagian atas terdapat dinding anyaman bambu.
Bahkan dulu warga Tanggung walau mampu tidak berani berangkat Haji karena takut bermegah-megahan , ada yang berangkat Haji selang beberapa tahun meninggal.
Seiring perkembangan zaman, orang mulai meninggalkan mitos untuk mempercayai Sains dan Teknologi . Sehingga mitos dan keyakinan tentang balak yang dulu kental dipercayai lambat laun terkikis seperti yang terjadi sekarang ini. Bahwa di Tanggung sudah tidak ada dogma-dogma sebagaimana di atas.
MITOS BADUT
Berbeda dengan Dusun Badut yang konon kalau Tanggung babat alas dan sesepuhnya adalah Kyai Diposari maka Badut yang babat alas adalah Kiyai COKRO DIPO, kemudian setelah menjadi desa kedatangan seorang perempuan berparas cantik yang berprofesi sebagai seorang penari tayup (tledek) Nyai Roro SANIJAH namanya.
Nyai Roro SANIJAH adalah tledek kerajaan mataram yang melarikan diri sampai ke Badut karena dikejar-kejar tentara Belanda. Nyai SANIJAH dulunya gerilyawan wanita yang menyusup ke kongsi belanda dengan alasan menghibur dan mengajak menari tentara Belanda, setelah itu tentara belanda diberi minuman arak hingga mabuk lalu di bunuh tentara belanda satu persatu.
Karena beliau seorang seniman maka warga badut diajari kesenian tayub dan Jaranan. Bahkan beliau menamai daerahnya dengan Dusun Badut hingga sekarang. Selain seorang tledek (penari), beliau juga membuat aturan yang keramat
Hal itu terbukti dengan aturan yang melarang membuat rumah menghadap kuburan (makam). Karena makam Badut letaknya di ujung Dusun sebelah utara sehingga warga Badut dilarang membuat rumah dengan pintu menghadap ke utara. Hal ini masih dipercayai hingga sekarang.
Konon apabila warga Badut ada yang membuat rumah dengan pintu yang menghadap ke utara, maka rumah itu langsung kedatangan balak seperti rumah itu didatangi ular, ketika penghuni didalam rumah atap rumah kejatuhan benda besar dari atas tapi tak kelihatan apa yang jatuh menimpa rumahnya, pintu rumah diketuk-ketuk setelah di buka tidak ada siapa-siapa dan kejadian lain yang sifatnya teror.
Sehingga warga Badut sampai sekarang tidak ada satupun rumah yang pintunya menghadap keutara.
MITOS SANTREN
Sebagaimana diterangkan diatas bahwa warga Tanggung adalah Nasionalis Agamis, kemudian warga Badut yang kental dengan seni tayub dan jaranan. Lain lagi dengan Dusun Santren yang dilatar belakangi tokoh-tokoh pendiri desa yaitu Kiyai DER PINGI seorang pejuang dari mataram
Beliau cikal bakal Dusun Santren sebelah utara. Yang makamnya terletak di jalan Wahid Hasyim masuk gang I yang masih sering di ziarahi setiap kegiatan bersih Dusun Santren.
Kemudian Santren sebelah selatan di cikal bakali oleh seorang Kyai ABDUL DJAMAL dan putranya Kiyai IMAM ULOMO. Beliau berdua adalah santri (tokoh Islam) yang makamnya terletak di jalan Pakubuwono tepatnya selatan Masjid Baitul Manan Santren.
Kiyai ABDUL DJAMAL adalah seorang santri militan dan mempunyai kharismatik, Sehingga beliau ketika masih hidup sepanjang hari tamunya banyak bahkan sampai ngantri-ngantri. Para tamu itu datang dari berbagai daerah dan dari berbagai kalangan.
Terutama tamu yang datang pada waktu itu adalah dari pemuda-pemuda yang mau berjuang meminta keselamatan (piandel) dalam memperjuangkan bangsa dari penjajah. Banyak tamu yang datang minta rumahnya di tumbali agar terhindar dari balak apapun. Bahkan dari cerita banyak tamu Kiyai Abdul Djamal yang minta di loloskan menjadi pamong praja (perangkat Desa) dan permasalahan-permasalahan lain dalam kehidupan.
Dengan banyaknya tamu yang berkunjung ke Mbah Kyai Djamal dan ketika itulah mereka menyebut bahwa daerahnya santri maka dinamakan dengan nama Dusun Santren. Dan setelah Mbah Kyai Abdul Djamal meninggal diteruskan putranya yaitu Kyai IMAM ULOMO.
FILOSOFI TANGGUNG - BADUT - SANTREN
Bahasa itu mengandung pengertian dan pemahaman sehingga jangan sampai salah memaknai sebuah bahasa kalau tidak ingin fatal jadinya, Itu pesan sesepuh. Para sesepuh Kelurahan Tanggung dulu bila berpesan pada anak cucunya begini : Ketika muda jadilah Badut artinya pemeran / profesi, pekerjaan sedapatnya (jadi guru, pamong, pedagang, petani, buruh dan lainya) tidak apa yang penting halal menurut kaidah-kaidah yang benar, menginjak umur 40 tahun keatas kita lepas sedikit demi sedikit Tanggung jawab dunia, kita menuju alam pencipta (kholiq) dengan menjadi Santri (suluk) yang militan untuk menyonsong kehidupan yang abadi di alam Ukhrowi (akherat). Sehingga sesepuh menyebut dengan sebutan Badut Tanggung Santren. Tidak boleh dibalik awalnya baik mertanggung terus jadi badut.
Demikian SELINTAS SEJARAH KELURAHAN TANGGUNG apabila ada kesalahan dalam penulisan cerita sejarah, kesalahan nama karena kami mengambil dari cerita orang/seorang yang mungkin tidak jelas sumbernya, kami siap menerima kritik maupun saran sebatas membangun. Atau mungkin bahasa yang sulit di pahami dan pemilihan kata yang kasar kami mohon maaf.
Posting Komentar untuk "Sejarah Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar"
Posting Komentar
Artikel di blog ini bersumber dari pengalaman pribadi penulis, tulisan orang lain sebagai posting tamu maupun bayaran oleh sebab itu segala hak cipta baik kutipan dan gambar milik setiap orang yang merasa memilikinya